Menu

Tuesday, May 7, 2013

Little Stars on Earth


 Bu Vivi/Al Jazari Yellow Teacher

"And in this crazy world, everybody wants to go toppers and rankers. Each finger has to be pulled until it gets long..until it breaks. The kids have to compete, successed, and make a future..."


- Taare Zameen Par (Little Stars on Earth)       



Pernahkah anda menonton film India yang saya tulis diatas? Taare Zameen Par? Cerita tentang seorang anak yang dicap malas dan nakal oleh lingkungannya tanpa tahu sebenarnya anak tersebut hanya memiliki masalah dengan kemampuan membaca dan menulis? Atau Three Idiots? Berkisah tentang 3 sahabat yang kuliah di dalam kampus yang memaksa mahasiswanya untuk berlomba-lomba meraih nilai tinggi, berkompetisi, dan diterima bekerja di perusahaan terkenal?  


Kemarin, saya menonton sebuah liputan berita di salah satu stasiun TV swasta. Menarik sekali. Dibuka oleh screen yang menyajikan  nama-nama fakultas di sebuah universita, disambung  muda–mudi yang asyik menenteng buku diktat kuliah, berdiskusi, sekaligus berselancar di dunia maya lantas ditutup oleh sebuah pertanyaan, “Mau kuliah dimana?”


Jujur gambar-gambar tersebut membuat saya mendadak kangen masa-masa kuliah. Ya, saya rindu geliat dan romantismenya. Ospek, bergadang menyelesaikan tugas, diskusi, berdebat dari A smapai Z, wara–wiri ikut kegiatan organisasi, berlomba cari info beasiswa, sampai ujian kesabaran mengahadapi dosen untuk persiapan sidang skripsi. Hahahahaha..berkesan sekali tiap episodenya. Singkat kata, saya sebut masa kuliah ini sebagai my first moment of life


Tapi disaat yang bersamaan, saya juga merasa ada sesuatu yang menohok hati saya. Terlebih setelah itu sang anchor menayangkan beberapa jurusan perkuliahan yang mempunyai prospek bergaji fantastis. Tidak tanggung-tanggung, gaji yang ditampilkan berdigit 3. Ratusan juta. Wow!! Saya lantas mengurut dada. Makin kaget begitu mengetahui bahwa jurusan berprospek gaji tinggi ini ternyata semuanya berbau sains dan teknik. Tapi itu membuat hati saya bergelitik. Saya berasal dari jurusan bahasa. Mempelajari kaidah hal yang darinya semua bermulai. Namun, saya tidak mendapati dunia memberikan penghargaan kepada saya, kepada orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan saya, sama baiknya dengan jurusan berprospek tinggi yang disebutkan sang anchor tadi. 

Pun begitu dengan beberapa bidang pendidikan yang  konon katanya ‘kering’. Berapa banyak orang tua yang masih menyembah dogma besar bahwa adalah ‘aib’ jika anak memperoleh jurusan bahasa atau sosial di SMA. Dokter dan insinyur dijadikan pilihan profesi pasti membawa kebahagian dunia akhirat. Maka orang tua berlomba menjejali anak mereka dengan rumus matematika, kamus bahasa asing, dan segudang jadwal formula penambah pintar. Kesemuanya tak lain investasi agar anak dapat bekerja di jurusan-jurusan yang mempunyai prospek gaji berdigit tiga itu. Fatal. Hipotesis yang fatal jika orang berkesimpulan bahwa muara dari pendidikan itu adalah agar seseorang bisa mempunyai gaji tinggi.


So, apa sejatinya makna dari pendidikan? Well, saya sendiri pun masih mencari-cari makna dari kata tersebut. Saya seorang guru. Dan saya dulu berkuliah di jurusan kependidikan. Tapi ternyata waktu 6 tahun yang saya habiskan di bangku kuliah dan 2 tahun pengalaman mengajar pun belum mampu menemukan makna sejatinya dari pendidikan. “Koq ribet amat sih bu?? Zaman udah canggih, tinggal tanya mbah google aja maka akan banyak sekali muncul definisi pendidikan. Definisi, ya. Segudang definisi dari sederet tokoh akan berjajar manis di layar untuk dicari. Tapi makna dan esensi? Mesin pencari secanggih apapun saya kira tidak akan bisa menemukannya. 


Baiklah, mungkin nanti pengalaman demi pengalaman yang akan membantu saya menemukan makna dari sebuah pendidikan. Tapi satu hal yang saya tahu bahwa Education is bridging bagi setiap anak untuk membantu menemukan siapa diri mereka, apa yang mereka suka, dan bagaimana mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan dunia yang mereka cintai. Education is caring. Ketika kecil, saya selalu jatuh cinta dengan guru memberikan senyum sebelum memulai kelas. Ramah menyentuh para anak didiknya, serta selalu peduli dengan apa keadaan mereka. Buat saya, itulah sejatinya belajar dimulai. 

Education is character’s shaping. Bahwa apa yang anak lihat, dengar, dan rasakan di sekeliling mereka entah itu dari rumah, sekolah, lingkungan bermain itulah yang akan mereka bawa dalam kehidupannya kelak. Dan education is encouraging, tidaklah memaksa. Gaji besar dan kemewahan lain hanyalah bonus menurut saya. Saya pilih jurusan bahasa karena saya tahu bahasa adalah nafas saya, hidup saya, saya bisa menikmati pengalaman berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang budaya dan kebiasaan karena bahasa. Yang saya bisa lakukan hanyalah memacu diri saya bagaimana saya bisa memberikan yang terbaik di bidang yang saya pilih ini.

Sama seperti ketika di kelas, ada seorang siswa yang mempunyai kecerdasan matematis yang luar biasa dan diminta mengarang sebuah cerita oleh guru bahasanya. Siswa tadi merasa kesulitan? Pastinya. Dan seperti yang saya katakan tadi, not forcing but encouraging. Memaksa anak untuk membuat cerita seperti gambaran ideal sang guru jelas membuat si anak juga guru mabookk. Tapi mendorong anak menuliskan cerita semampunya ia, sebisanya ia, memberi semangat, that’s all the teachers can do. That’s the point! 


Dan bila dikembalikan lagi ke kutipan dalam film Taare Zaamen Par di atas tadi, biarlah anak-anak kita melukis gambaran masa depannya kelak dalam warna apapun, dalam bentuk apapun, dalam bidang apapun. Siapa tahu gambaran itulah yang benar-benar mereka sukai dan inginkan dalam hidup mereka.


Selamat Hari Pendidikan Nasional !!!

No comments:

Post a Comment

Chibi Giant Man