PAK Wiwiet/ICT Teacher
Seorang mahasiswi S1 yang
melanjutkan kuliahnya di PTN kelas wahid yang sama bertemu dengan dosen S1-nya.
Sang dosen bertanya:
"Kamu kerja apa sekarang?"
"Jadi guru SD bu!" jawab mahasiswi dengan penuh semangat.
"Lho, kalau jadi guru, kenapa kamu dulu enggak kuliah di UNJ aja?"
Mahasiswi tadi nyaris berteriak menjawab "Kalau saya cuma kerja di bank kayak temen-temen yang lain mending saya kuliah di FE dulu!" kalau saja tangan temannya tidak cepat menutup mulut kecilnya.
"Kamu kerja apa sekarang?"
"Jadi guru SD bu!" jawab mahasiswi dengan penuh semangat.
"Lho, kalau jadi guru, kenapa kamu dulu enggak kuliah di UNJ aja?"
Mahasiswi tadi nyaris berteriak menjawab "Kalau saya cuma kerja di bank kayak temen-temen yang lain mending saya kuliah di FE dulu!" kalau saja tangan temannya tidak cepat menutup mulut kecilnya.
Jadi guru. Jika anda mendengar ada
jawaban seperti itu apa yang pertama kali keluar dari mulut anda? Sebagian
orang akan menjawab hebat bagi mereka yang tahu beban dan strategisnya profesi
guru itu. Sebagian lagi mengatakan keren karena mereka yang berpikiran terbuka
dan senang melihat hal-hal yang menantang arus utama. Dan sebagian besarnya
lagi akan menjawab Ooo…cuma guru… dengan nada rendah. Tampaknya ini masih
menjadi jawaban mayoritas kita jika mendengar frase Saya jadi guru. Salah?
Tentu tidak. Sangat benar malah. Pesemisme tentang profesi guru memang sudah
menjadi kerak hitam yang sukar dibersihkan pada paradigma masyarakat kita.
Lalu, mengapa bisa seperti ini? Gaji
yang relatif rendah dan prestise yang dangkal bisa mungkin menjawab semuanya.
Tapi apa yang menyebabkan semua itu? Mungkin ini bisa menjawab:
Saat masih mahasiswa, seorang senior
pernah mengatakan kualitas pendidikan di Indonesia menukik turun tajam ketika
perguruan tinggi keguruan di bentuk dengan level grade yang lebih rendah dari
perguruan tinggi nasional lainnya macam UI, ITB, IPB, UGM dan lain-lain. Walhasil,
generasi-generasi kualitas satu lebih memilih untuk melanjutkan pendidikannya
ke PTN-PTN yang bergengsi ketimbang (dulu) IKIP-IKIP yang ada.
Bisa ditebak, yang masuk ke
institut-institut perguruan adalah mereka yang gagal masuk PTN kenamaan yang
mana artinya level akademik mereka hanya KW 2 (maaf ini hanya gambaran kasar
saja). Sangat logis, meski sebenarnya pemarginalisasian calon-calon pendidik di
Indonesia sudah dimulai ketika kualitas Sekolah Pendidikan Guru (SPG) ada di
bawah SMA.
Kondisi ini diperparah oleh anggapan
bahwa siapa saja bisa jadi guru. Kalau semua pekerjaan gagal, minimal bisa jadi
guru. Profesi guru disamakan dengan tukang ojeg! Jujur, siapa yang tidak punya pikiran
seperti ini?
Sentimen negatif yang tinggi dan
anggaran yang rendah. Ah, ada yang lebih buruk lagi?
Okelah sekarang kesejahteraan guru
semakin meningkat. Kehadirasi sekolah-sekolah internasional dan nasional plus
pun makin meningkatkan harkat profesi guru. Tapi simpel saja, mana yang lebih
keren buat anda, karyawan bank dengan gaji 6 juta per bulan atau pengusaha
warteg dengan keuntungan 300 ribu per hari?
Jadi sekali lagi, tidak salah jika
orang pesimis dengan profesi guru di Indonesia. Tapi mereka tidak sepenuhnya
benar, bahkan bisa jadi sepenuhnya salah. Belum ada angkat statistik ataupun
sebuah gerakan nasional, tapi sudah banyak dan semakin banyak anak-anak muda
dengan nilai terbaik dari kampus-kampus elit yang dengan sadar terjun untuk
menjadi seorang guru. Saya yakin banyak kesempatan dan peluang untuk mereka
untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi lagi. Tapi, tampaknya
tidak cukup menarik bagi mereka.
Memang, guru-guru muda berlatar
pendidikan elit ini lebih banyak berbaur dengan sekolah-sekolah swasta karena
baru tempat-tempat itu yang bisa menampung potensi mereka. Tapi setidaknya
mereka sudah mulai mengambil langkah untuk membantu pendidikan nasional. Namun,
ada juga beberapa program nasional seperti Indonesia Mengajar yang mendorong
anak-anak muda untuk menjadi guru di daerah terpencil.
Tentu tidak ada jaminan bahwa mereka
pasti akan menjadi guru yang baik. Tapi, pragmatis saja. Jika orang-orang
seperti mereka mau menjadi guru tentu secara langsung akan meningkatkan
prestise terhadap profesi mulia ini. Jika prestise meningkat dan semakin meningkat,
tak terbayang kebaikan apa yang bisa terjadi pada pendidikan di Indonesia.
Revolusi pendidikan di Amerika
seharusnya bisa menunjukan dimana kita meletakan profesi guru. Tersulut oleh
kekalahan dari Uni Soviet dalam perang luar angkasa, Presiden Ronald Reegan
menginstruksikan bahwa yang boleh menjadi guru di sekolah-sekolah hanyalah
lulusan-lulusan terbaik dari universitas. Hasilnya? Guru sampai saat ini jadi
profesi elit di sana.
Dan hal itu akan segera terjadi di
sini. Dengan semakin banyaknya anak-anak muda kelas 1 yang menjadi guru dan
semangatnya menyebar bagai virus sampar di penjuru Indonesia. Mereka akan
menggerogoti pemikiran-pemikiran usang mengenai pesimisme profesi guru dan tak
akan berhenti hingga ketika seseorang berkata "Saya guru", hanya kekaguman yang
terucap. Tidak ada lagi peremehan.