Bu Vivi/Al Jazari Yellow Teacher
"And
in this crazy world, everybody wants to go toppers and rankers. Each finger has
to be pulled until it gets long..until it breaks. The kids have to compete,
successed, and make a future..."
- Taare Zameen Par (Little
Stars on Earth)
Pernahkah anda menonton film India yang saya tulis
diatas? Taare Zameen Par? Cerita
tentang seorang anak yang dicap malas dan nakal oleh lingkungannya tanpa tahu
sebenarnya anak tersebut hanya memiliki masalah dengan kemampuan membaca dan
menulis? Atau Three Idiots? Berkisah
tentang 3 sahabat yang kuliah di dalam kampus yang memaksa mahasiswanya untuk
berlomba-lomba
meraih nilai tinggi, berkompetisi, dan diterima bekerja di perusahaan
terkenal?
Kemarin, saya menonton sebuah
liputan berita di salah satu stasiun TV swasta. Menarik sekali. Dibuka oleh screen yang
menyajikan nama-nama fakultas di sebuah
universita, disambung muda–mudi yang
asyik menenteng buku diktat kuliah, berdiskusi, sekaligus berselancar di dunia
maya lantas ditutup oleh sebuah pertanyaan, “Mau kuliah dimana?”
Jujur gambar-gambar tersebut membuat saya mendadak
kangen masa-masa
kuliah. Ya,
saya rindu geliat dan romantismenya. Ospek, bergadang menyelesaikan tugas, diskusi,
berdebat dari A smapai Z, wara–wiri ikut kegiatan
organisasi, berlomba cari info beasiswa, sampai ujian kesabaran mengahadapi
dosen untuk persiapan sidang skripsi. Hahahahaha…..berkesan
sekali tiap episodenya. Singkat kata, saya sebut masa
kuliah ini sebagai my first
moment of life.
Tapi disaat yang bersamaan, saya
juga merasa ada sesuatu yang menohok hati saya. Terlebih setelah itu sang anchor menayangkan beberapa jurusan
perkuliahan yang mempunyai prospek bergaji fantastis. Tidak tanggung-tanggung, gaji yang ditampilkan
berdigit 3. Ratusan juta. Wow!! Saya lantas mengurut dada. Makin kaget begitu
mengetahui bahwa jurusan berprospek gaji tinggi ini ternyata semuanya berbau sains dan teknik. Tapi itu membuat hati saya bergelitik. Saya berasal
dari jurusan bahasa. Mempelajari kaidah hal yang darinya semua bermulai. Namun,
saya tidak mendapati dunia memberikan penghargaan kepada saya, kepada
orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan saya, sama
baiknya dengan jurusan berprospek tinggi yang disebutkan sang anchor tadi.
Pun begitu dengan beberapa bidang pendidikan
yang konon katanya ‘kering’. Berapa
banyak orang tua yang masih menyembah dogma besar bahwa adalah ‘aib’ jika anak
memperoleh jurusan bahasa atau sosial di SMA. Dokter dan insinyur dijadikan
pilihan profesi pasti membawa kebahagian dunia akhirat. Maka orang tua berlomba
menjejali anak mereka dengan rumus matematika, kamus bahasa asing, dan segudang
jadwal formula penambah pintar. Kesemuanya tak lain investasi agar anak dapat
bekerja di jurusan-jurusan yang mempunyai prospek gaji berdigit tiga itu. Fatal. Hipotesis yang
fatal jika orang berkesimpulan bahwa muara dari pendidikan
itu adalah agar seseorang bisa mempunyai gaji tinggi.
So, apa sejatinya makna dari pendidikan? Well, saya sendiri pun masih mencari-cari makna dari kata tersebut. Saya seorang guru. Dan
saya dulu berkuliah di jurusan kependidikan. Tapi ternyata
waktu 6 tahun yang saya habiskan di bangku kuliah dan 2 tahun pengalaman
mengajar pun belum mampu menemukan makna sejatinya dari pendidikan. “Koq ribet
amat sih bu?? Zaman udah canggih, tinggal tanya mbah google aja maka akan banyak sekali muncul definisi pendidikan.” Definisi, ya. Segudang definisi dari sederet
tokoh akan berjajar manis di layar untuk dicari. Tapi makna dan esensi? Mesin
pencari secanggih apapun saya kira tidak akan bisa menemukannya.
Baiklah, mungkin nanti
pengalaman demi pengalaman yang akan membantu saya menemukan makna dari sebuah
pendidikan. Tapi satu hal yang saya tahu bahwa Education is bridging bagi setiap anak untuk membantu menemukan siapa diri mereka, apa yang
mereka suka, dan bagaimana mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan dunia yang
mereka cintai. Education is caring.
Ketika kecil,
saya selalu jatuh cinta dengan guru memberikan
senyum sebelum
memulai kelas. Ramah menyentuh para anak didiknya, serta selalu peduli
dengan apa keadaan mereka. Buat saya, itulah
sejatinya belajar dimulai.
Education is character’s
shaping. Bahwa apa yang anak lihat, dengar, dan
rasakan di sekeliling mereka entah itu dari rumah, sekolah, lingkungan bermain
itulah yang akan mereka bawa dalam kehidupannya kelak. Dan education is encouraging, tidaklah memaksa. Gaji besar dan kemewahan lain hanyalah
bonus menurut saya. Saya pilih jurusan bahasa karena saya tahu bahasa adalah nafas saya,
hidup saya, saya bisa menikmati pengalaman berinteraksi dengan orang yang
berbeda latar belakang budaya dan kebiasaan karena bahasa. Yang saya bisa
lakukan hanyalah memacu diri saya bagaimana saya bisa memberikan yang terbaik
di bidang yang saya pilih ini.
Sama
seperti ketika di kelas, ada seorang siswa yang mempunyai kecerdasan matematis
yang luar biasa dan diminta mengarang sebuah cerita oleh guru bahasanya. Siswa
tadi merasa kesulitan? Pastinya. Dan seperti yang saya katakan tadi, not forcing
but encouraging. Memaksa anak untuk membuat cerita
seperti gambaran ideal sang guru jelas membuat si anak juga guru mabookk. Tapi
mendorong anak menuliskan cerita semampunya ia, sebisanya ia, memberi semangat,
that’s all the teachers can do. That’s
the point!
Dan bila dikembalikan lagi ke
kutipan dalam film Taare Zaamen Par
di atas
tadi, biarlah anak-anak kita melukis gambaran masa depannya kelak dalam warna apapun,
dalam bentuk apapun, dalam bidang apapun. Siapa tahu gambaran itulah yang benar-benar mereka sukai dan
inginkan dalam hidup mereka.
Selamat Hari
Pendidikan Nasional !!!