Bu Hanna/Al Razi Yellow
Di era
modernisasi saat ini, ada banyak fenomena yang menarik perhatian. Mulai dari perkembangan iptek, perubahan gaya hidup, persamaan hak dan kewajiban, pemenuhan
hak asasi hingga pertumbuhan kualitas sosial. Ini merupakan wajah-wajah baru
yang muncul setelah kita mengeksekusi modernisasi sebagai jawaban kebutuhan abad
21. Yang tentu saja wajah-wajah baru ini memiliki karismanya tersendiri, sehingga
menciptakan pandangan baru dari generasi–generasi sebelumnya. Termasuk
pandangan mengenai bagaimana sepatutnya menjadi seorang wanita di saat getaran
tuntutan modernisasi, merambat ke hampir seluruh ruangan nya. Pertanyaan ini
jelas membuat saya berpikir keras. Mengingat wanita di setiap zaman (terutama modernisasi) sungguh terlihat nyata dengan pemenuhan tugas–tugasnya. Konsistensinya
sungguh tak dapat dipungkiri dalam melayani tuntutan, yang terkadang secara
konkret tuntuan itu dapat jua dilaksanakan di luar ruangan seorang wanita. Begitulah
wanita.
Seperti
kita tahu, tidak mudah untuk melaksanakan kewajiban di tengah berjuta
keinginan. Namun ini tidak berlaku untuk wanita. Meskipun ia melukis warna-warna
keinginan dalam benaknya, namun ia tetap mengingat akan tugas dan kewajiban nya
sebagai seorang wanita. Ia tetap berhasil membuktikan bahwa sebuah kewajiban juga tuntuatan dapat
dituntaskan dengan membanggakan tanpa melupakan sejuta ingin nya. Ia hanya
menomorduakannya, memberi nya ruang sejenak untuk tinggal. Bukan berarti
meninggalkan nya. Nantinya ia akan membawa warna-warna itu kembali pada dunia
nyata setelah ia selesai dengan perannya sebagai seorang wanita. Tak pelak,
wanita dapat menghasilkan sebuah prestasi
yang sifatnya jangka panjang, tidak sementara, yang juga bukan untuk dirinya
sendiri. Jelas hal ini membenarkan bahwa beberapa persitiwa penting dan
bersejarah bagi perkembangan zaman terkuak karena seoarang wanita. Seperti
Mother Theressa, Lady Diana. Sehingga tak perlu dipungkiri lagi bahwa seorang
wanita adalah simbol dari sebuah zaman bahkan sebuah peradaban.
Di
Indonesia, kita memiliki Raden Ajeng Kartini. Beliau dilahirkan di Desa Mayong
yang terletak 22 km sebelum jantung kota Jepara. Beliau adalah putri dari
Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Adipati Sastrodiningrat. Dan cucu dari
Bupati Demak, Tjondronegoro, yang terkenal dengan kecerdasannya serta kepedulian
nya dengan pendidikan. Sedangkan ibu beliau berasal dari kalangan rakyat biasa.
Seorang ibu yang menginspirasi beliau untuk menjadi wanita yang cerdas di masa
kolonialisme.
Keinginan
Raden Ajeng Kartini untuk memajukan wanita Indonesia dimulai dengan
mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk belajar menulis serta ilmu pengetahuan
lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa di tengah masa kolonialisme wanita nyaris
tidak mungkin mendapatkan kesempatan seperti ini. Dan seorang istri dari Bupati
Rembang ini, Raden Adipati Joyodiningrat, berhasil mewujudkan dan menjaga
keberlangsungannya. Konsistensi beliau terbukti dengan pemberian beasiswa dari
pemerintah Belanda. Namun sayangnya Kartini dilarang menerima beasiswa itu
karena menurut orangtuanya dan budaya masa itu perempuan tidak wajib untuk
sekolah tinggi-tinggi .
Berawal
dari kegemaran nya membaca dan menulis, Kartini bertekad untuk menerobos masa kegelapan yaitu masa
penjajahan dengan menulis surat kepada teman-teman nya di Belanda, dan negara
Eropa lainnya. Yang kemudian pada tahun 1911 surat-surat tersebut dikumpulkan
dan dibukukan oleh Mr. J.H Abendanon. Kumpulan buah pikiran Kartini di kenal
dengan judul “Door Duisternis Tot Licht“ yang berarti “Habis Gelap terbitlah terang“ Dalam beberapa suratnya, ia
menuliskan bahwa ia hendak merintis dan membuka jalan. Jalan baru yang dapat
dilewati oleh wanita Indonesia, jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Selain daripada itu, ia hendak menjadi penunjuk jalan, penunjuk jalan bahwa
wanita-wanita di Indonesia sudah saatnya sejajar dengan laki-laki, dan waktu
itu sudah mendekat bahkan telah tiba. Dan jalan baru yang disebutkan oleh
Kartinidi wujudkan nya dengan mendirikan sekolah putri. Lalu ia menjadi seorang
guru di sekolah yang ia dirikan.
Kartini
melakukan perjuangan tersebut dengan kekuatan, tenaga, daya, dan upaya. Disertai
pula dengan keyakinan selayaknya booster untuk mengeksekusi keinginan mulia
beliau. Hal ini jelas lah sebuah inspirasi yang sangat tak sebanding dengan
apapun. Khususnya dalam bidang pendidikan, Sosok seperti Kartini adalah
sebenar-benarnya pahlawan tanpa tanda jasa (baca:guru).
Inilah
perjuangan yang sepatutnya ditiru oleh para penggerak pendidikan. Dengan
semangat perjuangan yang sama dengan Kartini, seorang Guru tak peduli ada
berapa jalan yang harus ia lewati, dan bagaimana jalan yang akan ia lewati.
Seorang guru hanya peduli pada tepatnya cara yang akan ia gunakan dalam memajukan
pendidikan Indonesia. Maka dari itu, seorang Guru sudah semestinya terus belajar sampai ia menemukan cara yang
menurutnya tepat untuk mendidik anak agar siap menghadapi masa depan. Sehingga nanti
nya setiap anak akan berhasil melewati jalan-jalan yang sudah menunggu di depan
sana.
Dan
seorang guru bukanlah satu-satu nya aktor utama yang dapat mengambil kendali
atas kemajuan pendidikan. Mereka yang sepatutnya berjuang bersama adalah seorang
guru, para orangtua murid, tokoh masyarakat, komunitas lingkungan sekitar
termasuk pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jika
mereka bekerjasama denga apik, panorama pendidikan tentunya akan lebih menarik
dan aplikatif. Perjalanan panjang dalam pendidikan tidak akan selamanya
berstatus sebagai meliuk tajam. Walaupun tidak dipungkiri akan ditemui tikungan-tikungan
tajam dan jurang-jurang curam. Di saati itulah dibutuhkan kerjasama yang
konkret diantara para aktor kemajuan pendidikan sampai perjalanan menyentuh
garis finish.
Begitulah
wajah pendidikan sepatutnya di mata seorang guru. Terutama pada zaman modern ini, seorang guru dituntut
untuk melewati sebuah perjalanan panjang. Oleh karena nya, Ia harus belajar
tentang apapun. Bagaimana pun cara yang ia tempuh sudah menjadi kewajiban guru
untuk tidak berhenti belajar. Yang kita semua tahu belajar bukan semata-mata
tentang mata pelajaran atau mata kuliah di sebuah institusi formal tertentu.
Belajar tentang kehidupan dan nilai-nial yang terkandung didalamnya juga
dikatakan belajar. Yang nantinya akan ia transformasika sebagai energi dalam
pengajaran di depan anak-anak .
Selamat Hari Kartini 2013
-Nizamia Andalusia Teachers
No comments:
Post a Comment